Nama Toni Ruttiman luput dari perhatian. Padahal selama 3 tahun
terakhir, warga negara Swiss ini sudah keluar masuk kampung membangun
jembatan gantung di berbagai wilayah di tanah air.
Kisah Toni Ruttiman ini diceritakan sosiolog Imam Prasodjo di akun Facebooknya seperti dikutip detikcom, Kamis (29/9/2016) atas seizin beliau.
Dikisahkan Imam, Ruttiman datang ke Indonesia karena rasa kepeduliannya yang tinggi. Dari berbagai pemberitaan di media massa, dia melihat begitu banyak anak-anak yang bergelantungan di jembatan yang rusak atau menyebrangi sungai berarus deras demi berangkat ke sekolah.
Melihat keadaan itu, hati Ruttiman pun tergerak dan memutuskan berangkat ke Indonesia. Diam-diam dia sudah tiga tahun ini keluar masuk kampung di wilayah terpencil di tanah air. Dia bergerak mengajak warga bergotong-royong membangun jembatan gantung untuk menyambung akses jalan yang terputus.
Ruttiman mengumpulkan bahan-bahan untuk membangun jembatan dari negerinya di Swiss. Dia juga mengupayakan bantuan pipa dari perusahaan ternama yang pemiliknya dia kenal baik seperti Tenaris, agar bersedia mengirim bantuan pipa tiang jembatan dari Argentina ke Indonesia.
Ruttiman turun tangan sendiri membangun jembatan di berbagai wilayah terpencil di tanah air. Dia juga merekrut beberapa tenaga kerja di Indonesia untuk dijadikan stafnya membantu upayanya. Salah satu pemuda yang dia rekrut adalah Suntana.
"Dengan cara seperti ini, kini Toni Ruttiman telah berhasil memasang 61 jembatan gantung di berbagai daerah termasuk Banten, Jabar, Jateng, Jatim, dan bahkan hingga Sulawesi, Maluku Utara dan NTT," ujar Imam.
Upaya Ruttiman Terhambat
Namun menurut Imam, belakangan ini upaya pengiriman bantuan bahan jembatan seperti wirerope (kabel pancang) yang rutin dikirim Ruttiman dari Swiss selama tiga tahun belakangan terhambat karena lambannya birokrasi.
Imam menyesalkan hal ini. Padahal Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru tengah keras-kerasnya mendorong agar arus barang impor lancar. Namun kenyataannya sangat lamban seperti masalah yang dialami Ruttiman.
"Saya yang ikut terlibat dan mengikuti betapa sulitnya mengurus proses administrasi import barang bantuan ini merasa kesal menghadapi birokrasi yang begitu ruwet dan lambat ini, walaupun untuk import barang bantuan sekalipun," keluh Imam.
Di Facebooknya, Imam juga menampilkan surat dari Suntana, asisten Ruttiman, kepadanya. Di surat itu, Suntana menceritakan lika-liku proses pengurusan barang bantuan yang malah berakhir denda demurrage (batas waktu kontainer).
Di suratnya, Suntana mengatakan, proses impor donasi wirerope untuk bantuan jembatan gantung itu memakan waktu lebih dari 2 bulan sejak container tiba di Tanjung Priok. Menurutnya, ini karena lamanya proses rekomendasi dari kementerian-kementerian terkait yang harus ditempuh untuk proses hibah ini.
Dijelaskan Suntana, atas bantuan dan upaya rekan-rekan di Bea Cukai Tanjung Priok, biaya storage 3 kontainer donasi wirerope untuk program bantuan jembatan gantung Ruttiman yang sudah tiba di pelabuhan Tanjung Priok sejak 16 Juli 2016 sampai dengan 26 September 2016 akhirnya dibebaskan biaya penyimpanan. Tagihan storage tersebut per tanggal 19 September 2016 sebesar Rp 84.036.410.
Untuk proses permintaan pengurangan atau penghapusan tagihan denda demurrage atas 3 container tersebut, dari pihak pelayaran masih memerlukan waktu yang lebih lama, semantara biaya untuk denda demurrage terus berjalan per hari. Sementara itu untuk mengeluarkan kontainer dari area penyimpanan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Dalam tagihan demmurage yang dilampirkan Suntana, tertulis jumlah denda per tanggal 19 September 2016 adalah Rp 169.890.000. Konfimasi terbaru tagihan demmurage per 26 September 2016 adalah Rp 195.650.000. Di surat itu, Suntana meminta Imam mencarikan solusi agar program jembatan gantung untuk Indonesia itu bisa terus berjalan.
Imam mengatakan dirinya sangat terpukul membaca surat dari Suntana. Namun dia lebih terpukul lagi membaca email dari Ruttiman yang mengaku ingin menyudahi upaya bantuan yang ia lakukan setelah periode bantuan ini selesai. Dia berharap Ruttiman masih mau dibujuk untuk terus bertahan di tanah air dan melanjutkan upayanya.
"Terus terang saya malu menghadapi kejadian ini. Saya ingin sekali berteriak sekerasnya mewakili rakyat yang selama ini masih mengharapkan bantuan Toni Ruttiman. Maukah pemerintah mengabil alih denda yang harus dibayar ini? Saya juga terfikir, bisakah kita bersama-sama urunan untuk mengganti denda demmurage agar kita sebagai bangsa setidaknya memiliki harga diri? Entahlah!," tulis Imam.
Saat dikonfirmasi via WhatsApp hari ini, Imam menyampaikan kabar baik. Menurutnya Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sudah bersedia menanggung biaya demurrage dan proses lainnya. Dia pun berharap Ruttiman terus melanjutkan perjuangannya membangun jembatan gantung di pelosok-pelosok tanah air untuk membantu masyarakat.
"Sudah ada ketersediaan Pak Basuki Menteri PUPR menanggung biaya demurrage dan proses lainnya, sehingga bila itu betul direalisasikan, Toni Ruttiman tak harus berkorban lagi membayar denda keterlambatan," ujarnya.
(news.detik)
Kisah Toni Ruttiman ini diceritakan sosiolog Imam Prasodjo di akun Facebooknya seperti dikutip detikcom, Kamis (29/9/2016) atas seizin beliau.
Dikisahkan Imam, Ruttiman datang ke Indonesia karena rasa kepeduliannya yang tinggi. Dari berbagai pemberitaan di media massa, dia melihat begitu banyak anak-anak yang bergelantungan di jembatan yang rusak atau menyebrangi sungai berarus deras demi berangkat ke sekolah.
Melihat keadaan itu, hati Ruttiman pun tergerak dan memutuskan berangkat ke Indonesia. Diam-diam dia sudah tiga tahun ini keluar masuk kampung di wilayah terpencil di tanah air. Dia bergerak mengajak warga bergotong-royong membangun jembatan gantung untuk menyambung akses jalan yang terputus.
Ruttiman saat beraksi bersama warga membangun jembatan gantung (Istimewa)
|
Ruttiman mengumpulkan bahan-bahan untuk membangun jembatan dari negerinya di Swiss. Dia juga mengupayakan bantuan pipa dari perusahaan ternama yang pemiliknya dia kenal baik seperti Tenaris, agar bersedia mengirim bantuan pipa tiang jembatan dari Argentina ke Indonesia.
Ruttiman turun tangan sendiri membangun jembatan di berbagai wilayah terpencil di tanah air. Dia juga merekrut beberapa tenaga kerja di Indonesia untuk dijadikan stafnya membantu upayanya. Salah satu pemuda yang dia rekrut adalah Suntana.
"Dengan cara seperti ini, kini Toni Ruttiman telah berhasil memasang 61 jembatan gantung di berbagai daerah termasuk Banten, Jabar, Jateng, Jatim, dan bahkan hingga Sulawesi, Maluku Utara dan NTT," ujar Imam.
Upaya Ruttiman Terhambat
Namun menurut Imam, belakangan ini upaya pengiriman bantuan bahan jembatan seperti wirerope (kabel pancang) yang rutin dikirim Ruttiman dari Swiss selama tiga tahun belakangan terhambat karena lambannya birokrasi.
Imam menyesalkan hal ini. Padahal Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru tengah keras-kerasnya mendorong agar arus barang impor lancar. Namun kenyataannya sangat lamban seperti masalah yang dialami Ruttiman.
"Saya yang ikut terlibat dan mengikuti betapa sulitnya mengurus proses administrasi import barang bantuan ini merasa kesal menghadapi birokrasi yang begitu ruwet dan lambat ini, walaupun untuk import barang bantuan sekalipun," keluh Imam.
Di Facebooknya, Imam juga menampilkan surat dari Suntana, asisten Ruttiman, kepadanya. Di surat itu, Suntana menceritakan lika-liku proses pengurusan barang bantuan yang malah berakhir denda demurrage (batas waktu kontainer).
Di suratnya, Suntana mengatakan, proses impor donasi wirerope untuk bantuan jembatan gantung itu memakan waktu lebih dari 2 bulan sejak container tiba di Tanjung Priok. Menurutnya, ini karena lamanya proses rekomendasi dari kementerian-kementerian terkait yang harus ditempuh untuk proses hibah ini.
Dijelaskan Suntana, atas bantuan dan upaya rekan-rekan di Bea Cukai Tanjung Priok, biaya storage 3 kontainer donasi wirerope untuk program bantuan jembatan gantung Ruttiman yang sudah tiba di pelabuhan Tanjung Priok sejak 16 Juli 2016 sampai dengan 26 September 2016 akhirnya dibebaskan biaya penyimpanan. Tagihan storage tersebut per tanggal 19 September 2016 sebesar Rp 84.036.410.
Untuk proses permintaan pengurangan atau penghapusan tagihan denda demurrage atas 3 container tersebut, dari pihak pelayaran masih memerlukan waktu yang lebih lama, semantara biaya untuk denda demurrage terus berjalan per hari. Sementara itu untuk mengeluarkan kontainer dari area penyimpanan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Dalam tagihan demmurage yang dilampirkan Suntana, tertulis jumlah denda per tanggal 19 September 2016 adalah Rp 169.890.000. Konfimasi terbaru tagihan demmurage per 26 September 2016 adalah Rp 195.650.000. Di surat itu, Suntana meminta Imam mencarikan solusi agar program jembatan gantung untuk Indonesia itu bisa terus berjalan.
Imam mengatakan dirinya sangat terpukul membaca surat dari Suntana. Namun dia lebih terpukul lagi membaca email dari Ruttiman yang mengaku ingin menyudahi upaya bantuan yang ia lakukan setelah periode bantuan ini selesai. Dia berharap Ruttiman masih mau dibujuk untuk terus bertahan di tanah air dan melanjutkan upayanya.
"Terus terang saya malu menghadapi kejadian ini. Saya ingin sekali berteriak sekerasnya mewakili rakyat yang selama ini masih mengharapkan bantuan Toni Ruttiman. Maukah pemerintah mengabil alih denda yang harus dibayar ini? Saya juga terfikir, bisakah kita bersama-sama urunan untuk mengganti denda demmurage agar kita sebagai bangsa setidaknya memiliki harga diri? Entahlah!," tulis Imam.
Saat dikonfirmasi via WhatsApp hari ini, Imam menyampaikan kabar baik. Menurutnya Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sudah bersedia menanggung biaya demurrage dan proses lainnya. Dia pun berharap Ruttiman terus melanjutkan perjuangannya membangun jembatan gantung di pelosok-pelosok tanah air untuk membantu masyarakat.
"Sudah ada ketersediaan Pak Basuki Menteri PUPR menanggung biaya demurrage dan proses lainnya, sehingga bila itu betul direalisasikan, Toni Ruttiman tak harus berkorban lagi membayar denda keterlambatan," ujarnya.
(news.detik)