Kisah nyata ini ditulis oleh Zanjabilla Kamila,. Pertanyaan "kapan punya anak" sering membuatnya sedih, beruntung suami bisa menguatkan hatinya.
-oOo-
Sejak menikah tiga tahun lalu, hampir setiap hari saya dan suami dihinggapi pertanyaan "Kapan". Keluarga, sahabat, kawan, teman kantor, teman lama, semua kompak bertanya, "Kapan punya anak?" Mungkin bagi suamiku, hal tersebut tidak terlalu mengganggu pikirannya. Dan mental lelaki tampak jauh lebih tangguh untung menerjang pertanyaan "kapan" tersebut. Tapi bagi saya? Sangat berat!
Saya adalah orang yang amat periang, terkesan cuek dan tidak terlalu peduli apa yang orang katakan. Tapi semenjak sering ditanya kapan memiliki momongan, saya jadi agak ciut. Sering merasa sakit hati dan tak jarang menangis ketika sedang sendiri. Saya merasa pertanyaan tersebut begitu menyudutkan, tidak manusiawi, tidak beretika dan amat membuat saya tidak nyaman. Saya memilih tersenyum ketika itu, terkadang saya jawab dengan guyon ringan, "Santai aja, kita masih muda, masih harus bersenang-senang berdua." Meskipun sebetulnya dalam hati kecil saya dan suami sudah merasa rindu kehadiran buah hati.
Namun, dari hari ke hari, bulan ke bulan, pertanyaan itu semakin membuat hati saya sakit dan akhirnya saya kesal jika harus menjawab dengan jawaban yang sudah saya ulang berkali-kali. Saya sempat memilih tidak menghadiri acara keluarga, menghindari perkumpulan teman-teman dalam tradisi ngopi, dan sempat tidak ingin banyak aktivitas di media sosial, karena tak sedikit yang juga bertanya di media sosial, Oh God!Rasanya begitu dongkol!
Sering saya berpikir, apakah ini bentuk perhatian dari orang di sekitar saya? Atau sebagian dari mereka sengaja menanyakan hal tersebut untuk membuat saya marah? Saya memenuhi hari-hari dengan pikiran yang negatif. Energi saya habis untuk terus merasa kesal. Dan hubungan saya bersama suami menjadi tidak senyaman di awal pernikahan.
Saya sering merasa suami tidak pengertian dengan kondisi saya yang terus menerus ditekan pertanyaan "kapan" tersebut, tapi saya tidak bisa menceritakan bagaimana perasaan saya saat itu karena saya melihat suami saya selalu santai dengan pertanyaan itu. Hingga suatu hari saya yang sudah sangat emosi meluapkan amarah ketika kami akan tidur. Saya berteriak bahwa saya sudah tidak tahan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya bahkan mengucapkan keinginan saya yang siap dimadu jika memang dengan madunya nanti dia bisa segera memiliki anak.
Dan, pernyataan mengejutkan keluar dari mulut suami saya, "Tujuan saya menikahi kamu bukan ingin segera memiliki keturunan, dan bukan untuk memaksa kamu segera hamil lalu melahirkan. Saya merasa memang harus bersatu dengan kamu supaya saya yang sudah kuat ini menjadi lebih kuat, karena saya merasa waktu bersama kamu adalah waktu yang begitu rileks dan santai.
Kamu harus percaya, bahwa anak adalah rezeki dari Tuhan. Tuhan akan memberi di waktu yang sangat tepat. Kalau memang anak terbuat dari terigu, sehari setelah saya nikahi kamu, saya akan buat sebanyak-banyaknya, supaya kalau kita mau buat bakwan ya bisa kita lumerin pakai air." Hahahaha! Saya lalu tertawa dan merasa sesak di dada saya hilang. Saya berterimakasih karena ternyata sikapnya yang kalem itu bisa membuat saya tenang.
Sejak malam itu, saya dan suami semakin kuat. Semakin merasa bahwa pertanyaan tersebut bukan lagi masalah. Suami saya mengajarkan saya untuk menganggap pertanyaan tersebut adalah doa, yang meskipun saya menganggap seharusnya doa yang baik adalah doa yang diucapkan diam-diam. Namun mindset saya berubah, saya merasa harus menghadapi mereka kembali dengan senyum dan jawaban yang cerdas. Saya memandu hati saya untuk lebih tangguh dengan pertanyaan, "Kapan punya anak?" Saya membiasakan kembali untuk hadir pada pertemuan keluarga, saya meladeni pertanyaan mereka (teman sekolah, teman kuliah, teman kantor dan tentunya keluarga) dengan lelucon.
Sampai hari ini, saya selalu meyakini hati saya bahwa Tuhan tidak pernah salah memberikan takdir. Mungkin sekarang saya masih diberi kesempatan untuk tetap merasakan rumah tangga dengan aroma pacaran, hanya berdua dengan suami. Terbukti, pertanyaan itu berkurang drastis mampir kepada kami.
So, buat kamu yang merasa sering bertanya untuk basa-basi, lebih baik tidak perlu tanyakan hal tersebut kepada kawan atau keluargamu yang memang belum diberi kesempatan bahagia menjadi orangtua. Karena tidak semua orang siap ditanya seperti itu, dan kebanyakan mereka akan bingung menjawab hal yang memang tidak bisa mereka buat sendiri.
#StopTanyaKapan