Surat
ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir
panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun
keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap
kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis.
Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku…
Sepanjang
masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki
dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca
tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu
engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu,
dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku…
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu
ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu
sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan
bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan
fisik dan emosi ibu.
Semenjak
kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri,
makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak
mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama
berjalannya waktu.
Aku
mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan
dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan
kakimu, atau balikan badanmu di perutku.
Aku
merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari
semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di
dalam rahimku.
Anakku…
Penderitaan
yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku
tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak
tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit
itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak
itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya
engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata
kebahagiaanku dengan air mata tangismu.
Ketika
engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua
keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan
kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.
Wahai anakku…
Telah
berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu
dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan
kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu.
Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat
sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu
berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun
berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak
pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi
pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan
taufiq untukmu.
Aku
selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi
dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis
telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala
itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan
hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari
kepergianmu.
Tatkala
itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya
hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur
pula dengan tawa.
Bahagia
karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan
jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih
karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi
dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu
yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah
sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang
selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti
batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang
berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah
melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa
lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi
detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan
sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti
kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah
orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa
engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku
merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan
tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur
berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan
dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri
dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu:
Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah
ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku
menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa
kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.
Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah
rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat
sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan
jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi.
Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan
engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah
bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah
dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya
seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan
tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu…
masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering…
masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…
Sekiranya
engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan
balas kebaikan dengan kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana
balasan baikmu?! bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air
serupa?! bukan sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?! Dan
bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:
هل جزاء الإحسان إلا الإحسان
Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?!
Sampai begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu.
Wahai anakku…
Setiap
kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula
bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adalah buah
dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku… Engkaulah
laba dari semua usahaku…
Dosa apakah yang telah ku perbuat, sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah suatu hari aku salah dalam bergaul denganmu?!
Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?!
Tidak
dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang terhina dari sekian banyak
pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?!
Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?!
Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua yang malang ini?!
إن الله يحب المحسنين
Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik.
Wahai anakku…
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku…
Hatiku
terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat.
Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah laki-laki yang supel,
dermawan dan berbudi.
Wahai anakku…
Apakah
hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa
dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian kedukaan?!
Mengapa?
Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil mengalirkan air
matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… Karena
engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat
menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali
silaturrahim.
Wahai anakku…
Ibumu
inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya…
Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan, dan balas budi
yang baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dengan kasih sayang
Alloh ta’ala sebagaimana di dalam hadits:
الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه
Orang
tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau,
sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi,
dishohihkan oleh Albani)
Anakku…
Aku
mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku
tahu engkau sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang
keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang
keutamaan shof pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan
tentang keutamaan infak, dan bersedekah…
Akan
tetapi satu hadits yang telah engkau lupakan… satu keutamaan besar yang
telah engkau lalaikan… yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam-
telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia
mengatakan:
سألت
رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟ قال:
الصلاة على ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم أيُّ؟
قال: الجهاد في سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو
استزدته لزادني. (متفق عليه)
Aku
bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai
Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada
waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau
menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi:
Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di jalan
Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh -shollallohu
alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau
akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…
Wahai anakku…
Inilah
aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau
banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…
Pernahkah
engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga dan
anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah
berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia
salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia
mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri
yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang
reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…
Berangkatlah
suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk mendapatkan emas,
guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana mengganti rumah
reotnya.
Akan
tetapi apa yang terjadi, setelah tiga puluh tahun dalam perantauan,
yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia gagal dalam usahanya.
Pulanglah ia kembali ke kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun
yang selama ini ia tinggal.
Apa
lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya
terbelalak. Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh
anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan
besar, tambang emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri
orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…
Engkau
berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi engkau telah
lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di sampingmu ada
orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu masuk surga…
Ibumu
adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau
mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan
Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!
Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- di dalam haditsnya:
رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)
Celakalah
seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang
bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang
yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau keduanya,
akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah
seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup bersamanya,
berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak memasukkan dia
ke surga.
Anakku…
Aku
tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan duka ini
kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ini telah membumbung
menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu
kebinasaan dan kesengsaraan, yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib
yang dapat menyembuhkannya…
Aku
tidak akan melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan
melakukannya, sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini
kuat menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur
lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab,
padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…
Bangunlah
nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah mulai
merambat di kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan menjadi
tua pula.
الجزاء من جنس العمل
Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.
الجزاء من جنس العمل
Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.
Aku
tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau menulis
surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku
telah menulisnya kepadamu.
Wahai anakmu…
bertakwalah
kepada Alloh… takutlah engkau kepada Alloh… berbaktilah kepada ibumu…
peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah air
matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan
kokohkan badannya yang telah lapuk…
Anakku…
setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dari Ibumu yang merana.
=====================================
=====================================
SURAT BALASAN DARI SANG ANAK
Surat Kepada Ibu
Kepada yg tercinta, bundaku yg kusayang
Segala
puji bagi Allah… yg telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan
telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.
Shalawat
serta salam hamba -yg lemah ini- panjatkan keharibaan Nabi yg mulia,
keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…
Ibu…
Aku
terima suratmu yg engkau tulis dg tetesan air mata dan duka… aku telah
membaca semuanya… tidak ada satu huruf pun yg aku sisakan.
Tapi
tahukah engkau, wahai Ibu… bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’…
Semenjak sholat isya’… aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yg
engkau tuliskan untukku… dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam
berkokok… setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan…
Sebenarnya,
surat yg engkau tulis tersebut, jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia
akan pecah… Jika engkau letakkan di atas daun yg hijau, tentu dia akan
kering…
Sebenarnya,
surat yg engkau tulis tersebut tidak akan tertelan oleh ayam…
Sebenarnya, wahai ibu, suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan, yg
jika dipecutkan ke pohon yg besar, dia akan rebah dan terbakar…
Suratmu wahai ibu, bagaikan awan Kaum Tsamud, yg datang berarak dan telah siap dimuntahkan kepadaku…
Ibu…
Aku
telah baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!!
Bagaimana tidak… Jika surat itu ditulis oleh seorang yg bukan ibu dan
bukan ditujukan pula kepadaku, layaklah orang yg paling bebal, untuk
menangis sejadi-jadinya… Bagaimana kiranya, jika yg menulis itu adalah
ibuku sendiri… dan surat itu ditujukan untukku sendiri…
Sungguh
aku sering membaca kisah sedih, tidak terasa bantal yg dijadikan tempat
bersandar telah basah karena air mata… Bagaimana pula dg surat yg ibu
tulis itu!? bukan cerita yg ibu karang, atau sebuah drama yg ibu
perankan, akan tetapi dia adalah kenyataan hidup yg ibu rasakan.
Ibuku yg kusayangi…
Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yg engkau telah sebutkan benar adanya…
Aku
masih ingat ketika engkau ditinggalkan ayah pada masa engkau hamil tua
mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang
belanja, jadilah engkau mencari apa yg dapat dimasak di sekitar rumah
dari dedaunan dan tumbuhan.
Dg
jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya,
sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yg engkau ambil
tersebut adalah hutang… hutang… yg engkau sendiri tidak tahu, kapan
engkau akan dapat melunasinya…
Ibu…
Aku
masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan,
engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yg
telah lama engkau jemur dan keringkan…
Tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dg segera.
Aku
masih ingat… engkau sengaja ambilkan air didih dari nasi yg sedang
dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.
Ibu…
maafkanlah
anakmu ini… aku tahu bahwa semenjak engkau gadis, sebagaimana yg
diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua seperti sekarang ini,
engkau belum pernah mengecap kebahagiaan.
Duniamu
hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dg anak-anakmu… Belum
pernah aku melihat engkau tertawa bahagia, kecuali ketika kami
anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu, tidak ada
kebahagiaan… Semua hidupmu adalah perjuangan. Semua hari-harimu adalah
pengorbanan
Ibu…
Maafkan
anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yg
telah engkau puji sifat dan akhlaknya… yg engkau telah sanjung pula suku
dan negerinya! Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa deganmu…
Wahai ibu…
Keberadaan
dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku…
senyuman dan sapaannya telah melupakanku dg himbauanmu.
Ibu…
aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena kewajibannya
untuk menunaikan tanggung-jawabnya sebagai istri… Aku berharap pada
permasalahan ini, engkau tidak membawa-bawa namanya, dan mengaitkan
kedurhakaanku kepadamu karenanya… Karena selama ini, di mataku dia
adalah istri yg baik, istri yg telah berupaya berbuat banyak untuk suami
dan anak-anaknya… Istri yg selalu menyuruh untuk berbuat baik dan
berbakti kepada kedua orang tua.
Ibu…
Ketika
seorang laki-laki menikah dg seorang wanita, maka seolah-olah dia telah
mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau
orang-orangan. Maafkan aku ibu…
Aku
tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini
kesalahan ada padaku, anakmu ini… Akan tetapi aku ingin menerangkan
keadaan yg aku alami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah,
tidak satu atap lagi…
Ibu…
Perkawinanku
membuatku masuk ke alam dunia baru… dunia yg selama ini tidak pernah
aku kenal… dunia yg hanya ada aku, istri dan anak-anakku… Bagaimana
tidak, istri yg baik, anak-anak yg lucu-lucu! Maafkan aku Ibu… Maafkan
aku anakmu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dg
keadaan orang yg penting bagiku… yg penting bagiku adalah keadaan
mereka: anak-anak dan istriku…
Ibu…
Maafkan aku, anakmu… Ampunkan aku, anakmu… Aku telah lalai… aku telah alpa… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu…
Aku
pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada
anaknya, akan tetapi anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang
tuanya… Oleh sebab itu, dilarang mencintai anak secara berlebihan,
sebagaimana anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya… Itulah yg
terjadi pada diriku, wahai Ibu!!
Aku
pasti akan gila ketika melihat anakku sakit… Aku seperti orang
kebingungan ketika melihat anakku diare… Tapi itu sulit, aku rasakan
jika hal itu terjadi padamu wahai ibu… Itu sulit aku rasakan, jika
seandainya hal itu terjadi pada ibu, dan pada ayah…
Ibu…
Sulit aku merasakan perasaanmu…
Kalaulah
bukan karena bimbingan agama yg telah engkau talqinkan kepadaku, tentu
aku telah seperti kebanyakan anak-anak yg durhaka kepada orang tuanya!!
Kalaulah
bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayahmu,
niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.
Setelah
suratmu datang, baru aku mengerti… Karena selama ini hal itu tidak
pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti
semua permasalahan berat, yg engkau hadapi selama ini.
Sekarang
baru aku mengerti, wahai ibu… bahwa hari yg sulit bagi seorang ibu,
adalah hari di mana anak laki-lakinya telah menikah dg seorang wanita…
wanita yg telah mendapat keberuntungan…
Bagaimana
tidak… Dia dapatkan seorang laki-laki yg telah matang pribadinya dan
matang ekonominya, dari seorang ibu yg telah letih membesarkannya… Dari
hidup ibu itulah ia dapatkan kematangan jiwa, dan dari uang ibu itu
pulalah ia dapatkan kematangan ekonomi… Sekarang, -dg ikhlas- ia berikan
kepada seorang wanita yg tidak ada hubungan denganya, kecuali hubungan
dua wanita yg saling berebut perhatian seorang laik-laki… Dia sebagai
anak dari ibunya dan dia sebagai suami dari istrinya.
Ibuku sayang…
Maafkan
aku… Ampunkan diriku… Satu tetesan air matamu adalah lautan api neraka
bagiku… Janganlah engkau menangis lagi, janganlah engkau berduka lagi!…
Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!!
Aku takut Ibu…
Kalau
itu pula yg akan kuperoleh… kalau neraka pula yg akan aku dapatkan…
ijinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, hanya demi untuk
dapat menyeka air matamu…
Kalau
engkau masih akan murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa
segala yg aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau…
terserah engkau, mau engkau buat apa…
Sungguh
ibu, dari hati aku katakan, aku tidak mau masuk neraka, sekalipun aku
memiliki kekuasaan Firaun… kekayaan Karun… dan keahlian Haman… Niscaya
aku tidak akan tukar dg kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat… Siapa
pula yg tahan dg azab neraka, wahai Bunda… maafkan aku anakmu, wahai
ibu!!
Adapun
sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa
engkau belum mau mengangkatnya ke langit… bahwa engkau belum mau berdoa
kepada Alloh akan kedurhakaanku… Maka, ampun, wahai Ibu!!
Kalaulah
itu yg terjadi… dan do’a itu tersampaikan ke langit! Salah pula ucapan
lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku… Apalah jadinya nanti diriku…
Tentu aku akan menjadi tunggul yg tumbang disambar petir… apalah gunanya
kemegahan, sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan
menjadi pohon yg tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke
langit, di tengahnya dimakan kumbang pula…
Kalaulah
do’amu terucap atasku, wahai bunda… maka, tidak ada lagi gunanya hidup…
tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak
pergaulan…
Ibu
dalam sepanjang sejarah anak manusia yg kubaca, tidak ada yg bahagia
setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat
bayangkan bagaimana nasibnya di akherat, tentu ia lebih sengsara…
Ibu…
Setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku.
Ibu…
Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku… setiap kali aku lalai
dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali… tiap kali aku
lengah darimu akan kutalqinkan diriku dengannya… Akan kusimpan dalam
lubuk hatiku, sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku… Akan aku
sampaikan kepada anak keturunanku, bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai
di dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran… ayah
mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yg
seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.
Bunda…
Tua… engkau berbicara tentang tua, wahai bunda…?! siapa yg tidak mengalami ketuaan, wahai ibu!!
Burung
elang yg terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yg
tinggi… suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar, dan diperebutkan
oleh burung-burung kecil.
Singa,
si raja hutan yg selalu memangsa, jika telah tiba tua, dia akan
dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan… Tidak ada
kekuasaan yg kekal, tidak ada kekayaan yg abadi, yg tersisa hanya amal
baik atau amal buruk yg akan dipertanggungjawabkan.
Ibu…
Do’akan
anakmu ini, agar menjadi anak yg berbakti kepadamu, di masa banyak anak
yg durhaka kepada orang tuanya… Angkatlah ke langit munajatmu untukku,
agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.
Ibu…
sesampainya
suratku ini, insya Allah tidak akan ada lagi air mata yg jatuh karena
ulah anakmu… setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu…
bahagiamu adalah bahagiaku… kesedihanmu adalah kesedihanku… senyumanmu adalah senyumanku… tangismu adalah tangisku…
Aku
berjanji, untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya, dan aku
berharap agar aku dapat membahagiakanmu selagi mataku masih bisa
berkedip… maka bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah
tersenyum… Ini kami… aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk
bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.
Salam hangat dari anakmu yg durhaka…
(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh)