Mungkin kamu sedikit terkejut saat mendapati surat dariku ada di kotak surat depan rumahmu. Maaf jika aku memilih untuk mengirim tulisan seperti ini. Namun semenjak pertengkaran terakhir kita, aku merasa butuh cara lain untuk bicara denganmu. Mungkin melalui surat ini, aku sedikit banyak bisa menumpahkan perasaanku selama berjuang di perantauan. Untuk semua yang ingin kukatakan, semoga kamu bersedia mendengarkan.
Berada jauh darimu adalah hal yang tidak pernah ku syukuri hingga hari ini. Jika bisa, ingin rasanya aku memangkas ratusan kilometer yang memisahkan kita.
Di antara sekian banyak pertengkaran yang pecah di antara kita, masalah jarak adalah yang paling utama. Kita seringkali berdebat mempermasalahkan waktu bertemu yang terasa begitu sempit. Kesibukanmu kuliah dan aku yang sedang bekerja di kota berbeda, tidak dapat dipungkiri menjadi masalah yang ingin ku rutuki hingga kini.
Aku mengerti sayang bahwa kamu tentu memiliki keinginan seperti pasangan lainnya. Bisa bersua kapan saja tanpa perlu terhalang oleh kenyataan bahwa kita berada di kota berbeda. Kamu tentu iri dengan temanmu yang bisa dengan mudah menemukan prianya di mana saja. Bersenda gurau dan berbagai cerita secara langsung, tanpa harus mengandalkan teknologi tatap muka via satelit seperti yang kita lakukan.
Kamu berkali-kali mengeluhkan ini padaku. Kamu selalu bilang bahwa seandainya aku di sana, pasti semuanya akan terasa lebih mudah. Sesekali kamu pun menangis menyesali mengapa hingga sekarang aku masih bertahan di sini, bekerja di kota yang berbeda denganmu. Asalkan kamu tahu, sungguh tidak mudah untukku, berpisah denganmu dalam waktu yang lama. Di sini, di kota asing ini, aku sering memaki diri sendiri setiap kali aku gagal membuatmu bahagia.
Kesadaranku sebagai prialah yang membuatku ada sini. Peranku sebagai kepala keluarga nantinya, memaksaku untuk terus berjuang mengumpulkan uang untuk kamu dan calon anak kita.
“Kamu ingat terakhir kali menutup telepon karena aku lupa jadwal meneleponmu?”
Jujur sebagai manusia biasa seringkali aku jengah menghadapi sikapmu yang terkadang kekanak-kanakan. Entah mengapa, aku tak jarang mendapatimu seolah tidak mau berkompromi dengan kesibukanku di sini. Aku yang sudah kelelahan bekerja, acap kali mendapati pesan tak manis darimu. Menumpahkan amarah yang menurutku harusnya bisa dibicarakan dengan lebih dewasa.
Tapi setiap kali aku merasa terlalu lelah dengan semua tingkahmu, aku selalu memutar semua kenangan kita. Kamu adalah wanita termanis yang pernah kupunya. Aku juga selalu mengingat bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan hatimu. Ya, itu semua kulakukan untuk mengobati rasa kesalku padamu.
Jika rasa ingin melepasmu datang, aku juga memutar kembali memori bagaimana kita pernah berjuang. Kamu yang tidak pernah berhenti menyemangatiku mendapatkan pekerjaan terbaik serta membantuku mengurus ini dan itu, membuat aku merasa kamu adalah wanita terbaik dari Tuhan yang Ia titipkan padaku.
Bila sudah teringat kembali tentang itu semua, rasa marahku pun mulai mengendur. Aku berusaha sesabar mungkin menjelaskan bahwa apa yang kulakukan sekarang adalah untuk masa depan kita kelak. Tidak ada sedikit pun niatan untuk bersenang-senang melupakanmu di kota lain. Sayang, percayalah bahwa di sini aku benar-benar sedang berjuang.
Aku memang bukan pria sempurna yang bisa melakukan semua hal sebaik yang kau damba. Tak jarang kuakui kealpaanku mengingat hal-hal kecil menyulut pertengkaran kita.
Kamu tentu belum lupa kalau kita pernah bertengkar hebat karena dengan tidak sengaja aku melupakan hari jadi kita. Kamu betul-berul marah padaku dan memilih mendiamkanku selama berhari-hari. Padahal, waktu itu pekerjaanku sedang padat-padatnya. Aku pun berusaha menjelaskan padamu dan meminta maaf untuk semua kesalahanku.
Aku jelas tidak bisa menyangkal bahwa aku adalah seorang manusia yang rapat dengan kekurangan. Aku tak jarang melupakan hari-hari penting kita. Sementara kamu adalah wanita yang mengingat semua hal dengan sempurna. Tapi tahukah kamu kalau itu kulakukan dengan tidak sengaja? Sayang mengertilah kalau ada hal-hal besar yang kupikirkan sehingga mungkin melupakan hal kecil lainnya. Aku harap kamu mau mengerti dan tidak mempermasalahkan ini lagi.
Melalui surat ini, aku ingin menyatakan bahwa aku menyayangimu melebihi apapun. Apa yang kulakukan sekarang semunya adalah untuk kamu, tidak lebih dan tidak kurang.
Mengirimi bunga, menyelipkan kata-kata manis di notebook, atau sekadar menjemputmu dari kampus untuk makan siang adalah hal yang pasti jarang kulakukan untukmu. Aku memang bukan tipe pria yang memanjakan wanitanya dengan cara-cara seperti itu. Karena bagiku, berjuang untuk 10-20 tahun ke depan jauh lebih penting untukku sekarang
Di sini aku sedang berkutat dengan tumpukkan pekerjaan demi mengumpulkan uang.
Di sini aku sedang berkutat dengan tumpukkan pekerjaan demi mengumpulkan uang.
Tentu kamu akan senang kan bila aku bisa membeli rumah kecil untuk kita tinggali kelak? Di sini, juga aku sering mengkalkulasikan biaya pendidikan untuk puteri dan pangeran kita kelak. Biayanya tidak kecil loh sayang, aku masih harus terus berjuang hingga kira-kira tabunganku terasa cukup.
Untuk itu, kumohon kirimi aku doa setiap hari. Agar Tuhan memberikan kemudahan sehingga priamu ini bisa kembali secepatnya.
Sayang, semua yang ingin kukatakan sudah kutuliskan dalam surat ini. Aku ingin sekali kamu membacanya dan mengerti bahwa orang yang sedang menulis sangat menyayangi dan menghargaimu. Aku hanya mempersiapkan apa yang kira-kira kau butuhkan. Karena kamu adalah masa depan yang sedang kuperjuangkan.
Kirimi aku doa yang tulus di sana, agar priamu ini bisa kembali secepatnya. Untuk semua rindu yang masih tertumpuk, aku harap kamu sudi bersabar. Karena sekembalinya aku dari sini, aku ingin kita segera menyebar undangan. I love you sayang…
Dari Priamu..
Yang sedang menabung Rindu.
[http://bgaul.co/]