“Sebaik-baik cewek itu dia yang mau diajak membangun hidup dari nol. Sama-sama.”
Konsep tentang membangun hidup berdua, susah bersama, menuju kesuksesan dari nol terdengar seksi sekali di telinga. Rasa-rasanya inilah bukti tertinggi dari cinta. Untuk kita yang tinggal di Indonesia dan masih percaya bahwa pria lah yang harus jadi pemimpin terdepan finansial keluarga, keyakinan ini kemudian turun ke konklusi sederhana: cewek itu harus mau diajak hidup susah. Kalau gak mau berarti dia payah.
Bung, tidak sesederhana itu. Mengajak gadis buat bersama-sama hidup susah sebenarnya bukan goal yang bisa dibanggakan. Karena itu tandanya kamu tidak siap pasang badan demi mengusahakan kebahagiaan. Seumur hidup Ayah dan Ibunya sudah mati-matian membahagiakannya. Kok kamu datang-datang ajak hidup susah seenaknya?
Hidup susah karena merintis dan hidup susah karena clueless itu berbeda. Gadis yang bijak akan tahu harus memilih yang mana
Jelas semua orang tidak akan langsung mapan setelah punya gelar di belakang nama. Bahkan meski ia punya banyak koneksi dan datang dari keluarga ternama. Semua, memang harus dimulai dari titik start terendahnya.
Kamu dan priamu harus belajar ‘diinjak-inja’k dulu. Overtime hampir setiap hari. Memutar otak demi memenuhi keinginan klien yang kadang absurd untuk dituruti. Dikejar target, dikejar capaian keberhasilan, dicerca dan diberi masukan dari atasan sampai merasa “Kok aku bego banget ya?” Ini wajar saja. Sebab memang begini jalannya.
Namun jelas ada perbedaan antara hidup susah karena sedang merintis dan hidup susah karena salah mempertimbangkan momentum untuk menawarkan komitmen manis. Jika mau menunggu setahun lagi saja sampai masa training selesai sempurna, bisa settle down lebih tenang mungkin akan beda cerita. Tapi sayang kita-kita ini lebih sering mengikuti rasa. Mau asal cepatnya saja. Tapi jelas gadis yang bijak akan tahu harus memilih yang mana.
Ajakan nikah cepat karena rejeki pasti mengikuti jadi misleading kalau tidak hati-hati. Tuhan jelas baik. Tapi kita mesti cerah akal agar tak dihardik
“Udah lah, nikah aja. Rejeki nanti pasti ada.”
Jelas, kebaikan Tuhan tak perlu lagi dipertanyakan. Dari jalan-jalan tak terduga Ia selalu memberi kemudahan. Namun bukankah dalam hidup kita tak bisa terus bergantung pada kebaikan? Sebab toh kita-kita ini dianugerahi pikiran strategis dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Kita bukan lagi anak manja yang bisa terus minta disuapi agar tak kelaparan.
Menawarkan masa depan dan membangun hidup baru dengan niat baik jelas akan membuka pintu rejeki. Namun ini bukan berarti bisa jadi free pass untuk gegabah mengikuti kata hati. Harus diakui, hidup bersama jelas tidak murah. Belum lagi kalau ada nyawa-nyawa baru yang kelak butuh pampers, susu, dan biaya sekolah. Sesungguhnya keputusan ini baru bisa diambil setelah menemukan dia yang bisa jadi partner untuk membanting tulang sampai payah.
Kita-kita ini sudah dewasa. Sudah bukan saatnya ternganga dan hanya mengangguk saja karena janji Tuhan yang selalu manis dan tanpa cela. Dia memang akan memudahkan segalanya. Tapi kita juga harus tahu diri agar tak memberatkanNya. Toh Hamba yang harus Ia cukupi bukan kita saja.
Jika membawa nama Tuhan terdengar artifisal sekali, mari kita rasional saja kali ini. Gadismu itu sudah dibahagiakan orangtuanya setengah mati. Tidak bijak ‘kan membawanya untuk hidup baru yang masih absurd sekali?
Orangtuanya pernah merelakan siangnya jadi malam; malamnya jadi siang demi memenuhi keinginan-keinginanya. Ayahnya pernah terbirit-birit pulang dari luar kota setelah mendengar gadismu naik suhu badannya. Puluhan tahun sebelum kalian bertemu Ibunya merelakan seluruh gajinya sampai tak ada lagi yang tersisa karena dia tak lagi mau minum ASI dan memilih minum susu formula. Susu formula itu mahal. Tapi Ibunya tak pikir dua kali demi memberi putrinya tubuh montok nan pejal.
Mengernyitkah dahimu membaca ini? Apakah kamu merasa ini materialistis sekali? Sebenarnya ini bukan soal materi. Kisah Ayah dan Ibunya jauh dari sebatas memenuhi kebutuhan paling primer dalam diri.
Jika mau menilik lebih dalam lagi upaya dua orang terdekatnya itu — cinta, ternyata , adalah tentang usaha. Memberikan semua yang dipunya, mengusahakan segalanya yang terpikir di kepala. Membuatnya percaya bahwa dia bisa memiliki lebih dari sumber daya yang sebenarnya dimiliki. Bukan membatasi mimpi dengan ajakan hidup susah di awal hari.
Tak perlulah buru-buru menawarkan sesuatu jika memang belum siap. Toh menunggu sampai saatnya tepat tak akan membuat kalian kena hukuman strap
Membangun hidup bersama itu perkara besar. Banyak sekali yang mesti dipersiapkan — bersama, sekaligus belajar secara perlahan.
Ini bukan soal makin banyak teman yang setiap weekend mengirim undangan. Bukan juga tentang pertanyaan, “Kapan?” yang makin menuntut berbagai improvisasi jawaban.
Makin kemari hidup adalah tentang menemukan titik paling tepat untuk berkata, “Saya terima nikahnya.” Mengkalkulasi momen terbaik untuk menghalalkan semua cumbu yang ada. Menunggu, tidak membuat kalian jadi orang yang gagal. Justru gagal adalah ketika membuat komitmen yang menciptakan luka. Saat hidup tidak jadi lebih baik setelah dijalani berdua.
Tak perlulah buru-buru jika memang belum siap. Ini dunia nyata — bukan SD yang jika tak membawa PR bisa membuat kalian kena hukuman strap.
[akspediaislam]